Menuju Pedalaman, Islam dalam Pelukan Muhtadin Mentawai, Perjalanan Dakwah sejak 1980, seperempat abad silam

MENEMBUS PEDALAMAN SIBERUT

Jalur sungai Siberut dari muara sampai hulu, akhir akhir ini ramai dilalui boat dan perahu mesin tempel.
Terutama untuk membawa rombongan turis dari Eropa menuju pedalaman Mentawai.
Setiap kapal yang laga jangkar di Muara Siberut, pasti akan ada turis asing yang turun.
Tujuan tiada lain adalah daerah pedalaman Mentawai.
Mereka ingin melihat kehidupan Sikalalegat (orang asli Mentawai), berbaur dengan mereka dalam beberapa hari.

Di Siberut Hulu ini, bermuara dua buah anak sungai, yaitu sungai Silaoinan di sebelah kanan, yang hulunya bukit bukit di Masaba dan Alitok di Siberut Utara.
Satu lagi di sebelah kiri, yaitu sungai Sararekat yang menembus perbukitan sampai ke tirioinan (mata air), dekat Peipejat dan Simatalu di Siberut Utara.
Pada jalur sungai Silaoinan inilah terletak desa Salappa.
Dan di hulunya terdapat dusun Silaoinan, yang penduduknya telah dipindahkan ke desa Munthei (di Siberut Hulu) bersama sama penduduk desa Tateburu dan Samemek.

Sedangkan dari anak sungai Sararekat ke arah hulu, masih didiami oleh Sikalalegat pada dusun dusun yang cukup ramai.
Sungai Sararekat menembus tiga wilayah, yaitu 1) Madobak yang terdiri dari dusun Rokdog, Madobak dan Ugai, 2) Matotonan dan 3) Sagalubbek, yang terlebih dahulu melalui pedalaman Monga Buttui.

Di Sagalubbek masih terdapat satu uma dari suku Sekudai, diperkirakan jumlahnya tinggal 30 orang (tahun 1990).
Suku yang masih berpegang pada Arat Sabulungan (adat lama Mentawai).
Pada masa pemerintahan Gubernur Harun Zein, kepala suku Sekudai ini pernah dibawa ke Padang untuk digunting rambutnya, dan sebelumnya diberi hadiah seekor kerbau.
Sekarang kerbau itu telah berkembang biak, namun rambut kepala suku itu panjang kembali dan tidak pernah dipotong.

Dewasa ini perkampungan suku Sekudai jarang didatangi, kecuali oleh orang orang tertentu saja, oleh sesama suku Sekudai sendiri yang masih memakai Arat Sabulungan, hanya memakai cawat, rambut panjang dan menggunakan ikat kepala.
Menurut catatan yang ada, suku Sekudai berasal dari Monga Buttui, pecahan dari Ugai Madobak.


  • Salappa

  • Desa Salappa merupakan desa tua di hulu sungai Siberut.
    Terletak di pinggir sungai Silaoinan.
    Desa ini berpotensi untuk berkembang di masa datang.
    Dusun Silaoinan Hulu dan Silaoinan Tengah yang terletak di hulu sungai dan sebuah dusun lagi yang terletak di hilirnya yaitu dusun Tateburu, pada zaman dulu ramai dihuni oleh penduduk. Sekarang dusun ini telah kosong, karena penduduknya telah dipindahkan, di antaranya ada yang pindah ke Salappa.

    Sebagai desa tua, Salappa telah dihuni oleh SIKALALEGAT (orang asli Mentawai) sejak nenek moyang mereka.
    Di sini terdapat sepuluh suku.
    Rumah rumah mereka tersusun teratur dan rapi.
    Masyarakatnya ramah dan bersahabat, sebagian besar penduduknya belum dijamah oleh kebudayaan dari luar, terutama yang generasi tua.
    Di sini, keaslian Mentawai masih terlihat dengan jelas.
    Tata cara dan seluruh aktivitas sehari hari, masih menggambarkan masyarakat yang sangat tradisional.

    Sebagian generasi mudanya ada yang telah beragama Islam atau beragam Kristen.
    Generasi muda inilah yang telah membudayakan berpakaian dengan baik.
    Sebagian besar dari generasi tua terdaftar sebagai penganut Kristen, walaupun mereka tidak pernah pergi ke gereja.

    Di desa ini terdapat sebuah gereja Katolik yang cukup besar, yang terletak di atas puncak bukit di ujung desa.
    Gereja ini juga berfungsi sebagai Sekolah Dasar Santa Maria, cabang dari Muara Siberut.
    Gurunya berjumlah tiga orang, seorang perempuan berasal dari Tapanuli, sedangkan yang dua orang lagi dari Jawa dan Nias.
    Murid murid di sini dididik sampai kelas V, sedangkan kelas VI dipindahkan ke Muara Siberut.

    Di desa ini SD Santa Maria merupakan satu satunya sekolah.
    Pelajaran agama yang diberikan hanyalah agama Kristen.
    Itulah sebabnya, anak anak Islam tidak mau belajar di sekolah ini.
    Banyak dijumpai anak anak Islam pada waktu jam belajar hanya tinggal di rumah atau bermain dengan sesama mereka.

    Pada akhir 1988, telah diusahakan untuk membangun sebuah mushalla.
    Pembangunannya secara gotong royong. Bahan bahan bangunan utama dibeli dengan sumbangan ummat Islam di Muara Siberut.
    Dan sebagian lagi bantuan dari Yayasan Ibu Sumatera Barat sebesar Rp 650.000, .
    Mushalla ini beratap seng berukuran 10 x 10 m2.
    Sebagian tiangnya berasal dari sumbangan ummat Islam di Salappa.
    Lantainya terbuat dari papan sedangkan dindingnya juga terbuat dari papan yang dipasang susun sirih.

    Walaupun bahan bahan yang digunakan kurang memadai, namun dorongan untuk terus membangun merupakan motivasi yang perlu mendapat dukungan.
    Hal ini disebabkan pihak Kristen di sini telah mempunyai gereja yang cukup baik, sementara ummat Islam belum memiliki fasilitas ibadah yang memadai.

    Di samping itu, untuk mendapatkan tanah sebagai tempat bangunan mushalla, juga amat sulit dan hampir saja terjadi pertumpahan darah.
    Kejadian ini berawal dari perselisihan dua saudara yang berlainan agama.
    Saudara Sunaryo Sabelakki (ketua muallaf Islam Salappa, anak kepala suku yang memiliki tanah ulayat) berselisih dengan kakaknya yang beragama Katolik.
    Orang tuanya yang masih beradat Arat Sabulungan sering mendapat bantuan dari pastor.
    Kakak Saudara Sunaryo, yang bernama Thomas Sabalekki ini yang menyerahkan tanah untuk dibangun gereja, yang sebelumnya mendapat izin dari orang tuanya.
    Thomas Sabalekki sebagai anak laki laki tertua berhak mewakili Uma Siburu (orang tua tua) sangat disayang oleh Pastor Monacci Ottorino.
    Thomas Sabalekki pernah dibelikan babi oleh pastor untuk diternakkan.

    Sunaryo berkeinginan pula mendapatkan tanah untuk membangun sebuah mushalla.
    Kakaknya tidak mau menyerahkan, tentu saja sebelumnya telah mendapat bisikan dari pihak gereja.
    Waktu itu terjadi pertengkaran dan hampir saja terjadi perkelahian.
    Peristiwa ini terjadi pada tahun 1987.

    Akhirnya diambil jalan tengah.
    Tanah untuk pembangunan mushalla bisa diserahkan, asal seluruh tanaman yang ada di atasnya berupa pisang, kelapa dan lain lain harus diganti rugi.
    Biaya penggantiannya juga tidak tanggung tanggung.
    Serumpun pisang, walaupun belum berbuah harus dibayar Rp 5.000, .
    Total biaya penggantian mencapai Rp 150.000, pada tahun 1990 belum bisa dilunasi.
    Sehingga di sekitar mushalla masih banyak ditumbuhi oleh pepohonan yang tidak bisa diganggu gugat sebelum ganti rugi dilunasi.
    Lokasi mushalla juga tidak begitu strategis seperti halnya lokasi gereja.
    Letaknya di belakang perumahan penduduk, namun masih di sekitar lingkungan perumahan ummat Islam.

    Besar dan berat tantangan jihad di desa Salappa ini.
    Setelah mushalla selesai dibangun tahun 1989, langsung dapat berfungsi dengan baik.
    Shalat Jum’at dan wirid pada malam Jum’at berjalan dengan baik.
    Di desa ini terdapat seorang da’i yang bernama Muhsinin Batubara, berasal dari Sibolga, yang merupakan utusan dari Baitul Makmur Medan.
    Telah bermukim di sini sejak tahun 1986.
    Saudara Muhsinin inilah yang membina ummat Islam di sini dengan penuh ketabahan.

    Sebelum ada mushalla, Muhsinin Batubara tinggal di rumah Sunaryo Sabelakki.
    Dari sinilah dia mendatangi setiap rumah penduduk pada malam hari secara berkelompok.
    Lima hari dalam seminggu ia mengajarkan agama Islam, masing masing kelompok mendapat giliran satu malam dalam seminggu.
    Dia memilih cara ini karena pada siang hari masyarakat pada umumnya mencari nafkah di hutan yaitu mencari rotan, manau, gaharu, sagu, atau berburu dan kadang kadang sampai berhari hari. Dengan pembinaan secara kelompok ini memungkinkan jadwal mencari nafkah tidak terganggu. Sementara itu anak anak juga dididik mempelajari agama Islam.
    Salah satu da’wah bil hikmah yang nampaknya cukup memberikan hasil.

    Pada saat ini, anak anak belajar mengaji di dalam mushalla, jumlahnya hanya 15 – 20 orang. Waktu belajar di sore hari.
    Pagi hari kebanyakan mereka membantu orang tua.
    Untuk belajar malam hari tidak memungkinkan, karena tidak ada penerangannya.
    Dana untuk membeli minyak tanah tidak ada.
    Bantuan minyak tanah sebanyak 30 40 liter per bulan sangat berarti bagi mereka.

    Pelajaran yang diberikan tidak hanya belajar Juz Amma atau Al Quran dan tuntunan agama Islam, tetapi juga pengetahuan Sekolah Dasar.
    Belajar menulis, membaca dan berhitung bagi anak anak muallaf yang tidak mau sekolah di SD Katolik.

    Dalam kegiatan kegiatan agama, sangat sulit mengumpulkan jama’ah muallaf yang sedang berada di ladang.
    Bukan mereka tidak mau mengikuti kegiatan keagamaan, tetapi sarana untuk mengumpulkan yang tidak ada.
    Mushalla ini sangat membutuhkan sebuah pengeras suara sebagai sarana untuk memberitahukan kepada jama’ah bila ada kegiatan.
    Kalau di gereja, mereka mempunyai lonceng sebagai alat untuk mengumpulkan jemaat mereka.

    Selain itu, mushalla ini juga membutuhkan tikar untuk shalat.
    Selama ini hanya ada dua buah tikar, itu pun yang satu sangat pendek.
    Tidak cukup untuk dua shaf.
    Sebenarnya mushalla ini belum bisa dikatakan selesai, karena belum ada loteng, belum ada pintu dan jendela, dan belum ada tempat untuk berwudhuk.
    Namun begitu telah berfungsi sebagimana mestinya.

    Di samping pembangunan mushalla, pembangunan rumah untuk da’i atau guru juga perlu mendapat perhatian di daerah pedalaman ini.
    Mengingat banyak anak anak yang tidak sekolah di Santa Maria, yang belajar kepada da’i.

    Untuk membangun sebuah rumah, sudah tersedia bahan bahan seperti seng (29 lembar) dan tiang, sedangkan untuk tenaga, bisa dilakukan secara gotong royong.
    Mereka hanya membutuhkan bantuan berupa paku, semen dan dinding. Untuk memulainya tentulah dibutuhkan dana, sementara untuk memenuhi kebutuhan sehari hari saja mereka kesulitan.
    Apalagi da’i Muhsinin Batubara telah didampingi seorang istri yang bernama Boru Ginting dari Tanah Karo.
    Ia bekas pelajar putri Kauman Padangpanjang.
    Di samping sebagai ibu rumah tangga, ia juga membantu tugas sang suami, dengan memberi pelajaran kepada anak anak sambil mengasuh anak di rumah.
    Saat uitu di tahun 1990 mereka telah dikaruniai dua orang anak.

    Bila kita amati lebih seksama, ummat Islam bisa bertahan karena kegigihan para pemuda Islam di sini.
    Jumlah ummat Islam di sini hanya 25 KK, sedangkan 50 KK adalah Katolik.
    Namun karena para pemuda Islamnya cukup disegani, di samping mereka kebanyakan adalah putra kepala suku, mereka juga sangat komitment dengan Islam.
    Seperti Saudara Darmadi, Timotius dan teman teman seangkatannya, mereka adalah fityatun amanuu birabbihim.

    Untuk jangka panjang, pembangunan ekonomi ummat Islam di sini perlu diperhatikan.
    Di Salappa dapat dikembangkan perkebunan kelapa hibrida.
    Ummat Islam di sini mau menanam kelapa masing masing dua batang, satu untuk pribadi dan satu lagi untuk kegiatan da’wah.

    Mencari tanah untuk perkebunan, tidak sesulit mencari tanah untuk pembangunan mushalla.
    Hal ini karena tanah untuk perkebunan letaknya di luar kampung atau di seberang sungai.
    Tanah di sini masih sangat luas.
    Usaha ini diharapkan dapat menjadi kenyataan di masa datang.

    Sementara itu di pihak Kristen, dengan Delegasi Sosialnya menyediakan kredit pembelian manau. Kegiatan ini dilaksanakan oleh orang orang Tapanuli dan Nias.
    Usaha ini cukup pesat perkembangannya, karena dananya didukung oleh gereja.

    Silaturrahmi Dengan Ummat Islam di Salappa

    Pada malam hari sesudah shalat Isya’, diadakan pertemuan dengan muallaf.
    Pertemuan dari hati ke hati antar saudara seiman dan seaqidah.
    Walaupun yang hadir tidak banyak, namun terasa lengkap.
    Dari anak anak sampai yang tua, laki laki dan perempuan, sa sara ina (se saudara = bahasa Mentawai).
    Apa yang diperbuat hari ini adalah untuk hari esok, untuk anak anak masa datang. Pelihara dan jagalah persaudaraan ini dengan baik, sebagai saudara seiman.

    Lengkaplah kunjungan kami ke Salappa.
    Suatu desa yang untuk mencapainya diperlukan perjalanan sehari, penuh dengan tantangan alam yang ganas.
    Kayu kayu yang melintang di sungai dan siap untuk membalikkan perahu tanpa ampun.
    Namun semua tantangan itu belumlah berarti apa apa bila dibandingkan dengan penderitaan ummat Islam di Salappa.
    Belum berarti apa apa bila dibandingkan dengan perjuangan para mujahid da’wah di sini, dan daerah daerah pedalaman lainnya.

    “Kunjungan Bajak bajak (= Bapak bapak, bahasa Mentawai), ke desa kami ini, memberi harapan kepada kami, karena kami tidak ditinggalkan sendiri,” demikian ungkapan ikhlas mereka.

    Pada pagi hari berikutnya, hari keempat kami di Siberut, di saat pagi masih dibalut kabut, kami berangkat meninggalkan Salappa, kembali menghiliri sungai Silaoinan.
    Dari atas tebing sungai, Saudara Muhsinin dan jama’ah binaannya melambaikan tangan, melepas kepergian kami dengan penuh harapan yang terpendam.

    “Alo ita Bajak (= sampai jumpa lagi Bapak),” kata mereka, sambil tetap melambaikan tangan sampai hilang ditelan tikungan sungai.


  • Memudiki Sungai Sararekat Hulu

  • Dalam perjalanan menuju Matotonan, kami kembali mengarungi sungai Silaoinan ke arah hilir. Sungai kecil yang airnya jernih, sehingga menampakkan dasar sungai yang dangkal. Kayu kayu banyak melintang seolah olah menghalangi perjalanan kami. Perjalanan kami menuju ke Kuala Siberut Hulu tempat dimana Sungai Sararekat bermuara.

    Kami melewati dusun Tateburu yang telah ditinggalkan penduduknya.
    Di tengah jalan, sesekali kami berpapasan dengan perahu penduduk.
    Akhirnya kami sampai di hulu sungai Siberut saat matahari telah condong ke barat.
    Perjalanan yang lebih berat menantang di depan kami, perjalanan mencapai desa Matotonan di pedalaman Sararekat Hulu.

    Madobak

    Desa Madobak merupakan sebuah desa yang terletak di dalam ulayat (=lagai) Madobak Ugai. Daerah yang terletak di tengah tengah pulau Siberut.
    Termasuk dalam wilayah Kecamatan Siberut Selatan.
    Dikelilingi Lagai Sararekat Hulu (Matotonan), Lagai Limuk dan Guluk guluk (Saliguma), Lagai Saumangket (Katurai), Lagai Taileleu dan Lagai Sagalubbek (Monga Buttui).

    Dusun ini merupakan kumpulan uma suku suku yang terdapat di Siberut Selatan, di pedalaman Mentawai. Arat Sabulungan (= adat asli Mentawai) masih kelihatan dominan.
    Hampir seluruh penduduk asli masih menggunakan cawat (kabit).
    Rumah penduduk masih di tata menurut bentuk uma uma.
    Hal ini telah menjadi daya tarik tersendiri.

    Di Madobak terdapat sekitar 80 orang muallaf (yang telah masuk Islam sejak tahun 1990), namun kehidupan mereka telah banyak dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat asli.
    Tidak ada pemuka Islam yang cukup disegani di kalangan muallaf sendiri.
    Hal ini disebabkan, tidak adanya pembina ummat yang mampu bertahan lama di sini.
    Ditambah lagi arus turis yang datang 2 kali seminggu, membuat mereka lebih suka memakai pakaian asli mereka (Sikalalegat).
    Hanya satu-dua kelihatan anak anak yang memakai pakaian sebagaimana layaknya, atau (Sasareu) penduduk dari Tanah Tepi.

    Beberapa tahun sebelum tahun 1990, Madobak merupakan tempat kepala pemerintahan beberapa desa, yaitu Rokdog, Madobak dan Ugai. Namun tahun 1990 pemerintahan desa dipindahkan ke hilir, ke dusun Rokdog.

    Di sini terdapat sebuah gereja yang dibangun seperti bangunan asli Mentawai (uma). Pintu pintu tidak dikunci dan tidak dirawat dengan baik.
    Walaupun demikian tetap dipakai untuk kegiatan gereja setiap minggu. Banyak didatangi oleh anak anak dan generasi muda, sementara generasi tua bergaul akrab dengan para turis dengan memakai pakaian asli mereka.

    Madobak merupakan tujuan utama para turis, karena di sini masih terdapat penduduk asli yang masih menggunakan cawat (kabit).
    Dan pemandangan inilah yang diabadikan (difoto) oleh para turis untuk dikomersilkan.
    Untuk sekali foto dengan berpakaian asli, mereka diberi imbalan Rp 5.000, .
    Hal inilah yang menjadikan penduduk asli Mentawai menjadi pemalas dan lebih senang berpakaian asli Mentawai, daripada memakai baju, celana atau menggunting rambut. Uma (= rumah) mereka disewakan dengan bayaran Rp 3.000, per orang setiap malamnya. Ini merupakan sumber pandapatan baru bagi penduduk asli.
    Dari tahun ke tahun arus wisatawan yang datang ke daerah ini terus meningkat.

    Pada waktu Siberut Selatan masih diperintah oleh Camat Hasan Basri (pada tahun 1981 telah diganti), hampir seluruh penduduk asli Mentawai telah dibudayakan dangan berpakaian dan bertempat tinggal sebagaimana layaknya penduduk pada umumnya (melalui program resettlement). Namun kini (tahun 1990) keadaannya sudah berubah. Setiap mendengar ada boat yang datang, mereka cepat cepat membuka baju dan menggunakan pakaian asli mereka, untuk menjual budaya asli mereka kepada para turis melalui foto foto mereka.

    Jika ada Sasareu (pendatang dari Tanah Tepi) yang akan mengambil foto mereka untuk keperluan dokumentasi, atau kenang kenangan, tanpa malu mereka mengatakan, “Pigha biaya nia?” (= berapa dibayar?).
    Itulah kebudayaan baru yang ada di Mentawai. Khususnya di desa Madobak dan Ugai.
    Pihak pastoran nampaknya membiarkan keadaan ini, karena bagi mereka hal semacam ini tidak berarti apa apa.
    Sebagaimana ditulis oleh Coronese, “Misionaris Protestan dan Katolik tidak mempunyai pengaruh untuk melenyapkan kebudayaan Mentawai” (Coronese, 1986 : hal. 34).

    Suatu hal yang menarik untuk dikaji, apalagi terhadap suku yang masih terasing, seperti suku suku di Mentawai ini.
    Arus wisatawan terbukti berpengaruh negatif terhadap penduduk asli Mentawai.
    Tidak membuat mereka menjadi maju.
    Malahan tetap dalam keadaan terbelakang.
    Mereka beranggapan begitu mudahnya mencari penghasilan, dengan berpose sejenak di depan kamera.
    Bila ini dibiarkan terus menerus, maka kebodohanlah yang akan menghimpit mereka.

    Sikalalegat Madobak tampaknya semakin tidak terkendali.
    Ingin tetap bertahan seperti aslinya dan dilestarikan.
    Hampir hampir seperti saudara mereka, suku Sekudai di Sagalubbek.

    Belum banyak da’wah yang bisa dilakukan di sini, yang diperlukan adalah menyediakan tenaga pembina (da’i) yang bersedia mendatangi ke rumah rumah penduduk.
    Untuk mengubah cara hidup dan berpikir mereka, mungkin membutuhkan waktu yang panjang. Dan perlu kesabaran dan keuletan yang prima, sehingga mereka mau merubah sikap.

    Suasana malam hari di desa Madobak sangat sunyi, tidak ada penduduk yang keluar uma mereka. Sesekali dari kejauhan terdengar bunyi tudukkat (= kentongan) di malam hari.
    Suatu alat komunikasi masyrakat Mentawai yang telah digunakan sejak dulu.
    Inilah keaslian Mentawai yang masih tersisa.

      Matotonan

    Matototan merupakan desa yang dikelilingi oleh sungai Matototan yang bermuaran di Sararekat Hulu.
    Di sini tinggal sekelompok penduduk asli Mentawai.
    Penduduknya ramah dan bersahaja.
    Kami sampai di desa ini sudah hampir Maghrib, setelah meninggalkan desa Madobak pagi hari.

    Orang orang tua di Matotonan berkeyakinan, bahwa nenek moyang mereka berasal dari Simatalu (daerah pantai barat paling selatan dari Kecamatan Siberut Utara). Pada mulanya hanya didiami oleh delapan suku saja, yaitu suku Sagoilok, Satoutou, Sakabau, Sarubei, Sabulat, Satoinong, Saige Oni, dan Satutoitet.
    Sekarang suku suku itu telah terpecah menjadi 36 suku suku kecil.
    Nama nama suku itu umumnya diambil dari nama orang tua atau nama kampung.
    Demikian penuturan seorang tua yang masih hidup di Matotonan, Bajak Toboi Kere Sabulat.

    Bajak Toboi Kere Sabulat (94 th) adalah orang yang pertama masuk Islam di daerah ini, yaitu sejak tahun 1950.
    Di saat orang Mentawai disuruh memilih salah satu agama resmi dan meninggalkan Arat Sabulungan, dan Bajak Toboi Kere Sabulat memilih Islam sebagai jalan hidupnya.
    Ia adalah orang yang teguh memegang Islam sebagai penuntun hidupnya.

    Jumlah ummat Islam di desa ini pada tahun 1989 sebanyak 575 jiwa dari 816 jiwa jumlah penduduk desa ini.
    Selebihnya sebanyak 241 jiwa beragama Katolik.

    Kepala Desa Matotonan, bernama Hariadi (masih sangat muda) telah bersama sama kami semenjak dari Muara Siberut.
    Demikian juga Saudara Ismail (da’i) dan istrinya yang baru kembali dari Medan, setelah meninggalkan daerah ini selama sebulan.
    Dengan adanya mereka telah mempermudah perjalanan perahu kami, yang sebentar sebentar ditarik di dalam sungai yang memang airnya dangkal.
    Saudara Ismail yang berasal dari Asahan Sumatera Utara, telah bertugas di sini sejak tahun 1986. Telah banyak perubahan sebagai hasil karya nyatanya.
    Sekarang da’i di daerah ini adalah Jhon Effendy putra asli daaerah Matotonan.

    Kedatangan Saudara Ismail dengan istrinya itu, segera diketahui oleh ummat Islam di sini. Tadukkut segera dibunyikan bersahut sahutan.
    Di wajah mereka kelihatan kesungguhan bagaimana seorang guru yang mereka tunggu tunggu, sekarang telah di hadapan mereka.

    Sejak tahun 1988, telah dibangun sebuah masjid di Matotonan, bernama masjid Abu Ubaidah Al Jarrah dan sampai laporan ini diturunkan (tahun 1990), belum selesai. Masjid ini berukuran 14×14 m.
    Dibangun atas bantuan dari Yayasan Al Ishlah Medan (melalui Ustadz Faruq Sanusi) sebesar Rp 5.000.000, dan juga masih berhutang pada ummat Islam di Muara Siberut sebesar Rp 950.000, . Bangunan ini belum berlantai dan berdinding serta belum mempunyai peralatan sama sekali.

    Sewaktu kami berbincang bincang dengan Bajak Toboi Kere, diperoleh informasi bahwa, sudah tiga kali rencana pembangunan masjid ini, namun ketiga rencana itu tidak ada yang berhasil. Pertama, pada saat 105 orang masuk Islam, direncanakan untuk membangun sebuah masjid namun gagal.
    Kedua tahun 1957, ketika Kecamatan Siberut Selatan masih diperintah oleh Camat Abdullah, rencana ini juga gagal (mungkin karena terjadi peristiwa daerah tahun 1958).
    Ketiga, pada tahun 1983, ketika 321 orang masuk Islam, direncanakan untuk membangun masjid, namun gagal dan hanya sebuah mushalla.

    Suatu pertanyaan spontan dan lugu, “Apakah masjid kita ini akan dijual?. Kalau tidak selesai selesai juga, malu kita,” kata Bajak Toboi Kere, yang datang menemui kami dari jarak lebih 2 km di seberang sungai dengan langkah gontai.
    Demikan ungkapan yang disampaikan dengan terputus putus kepada kami.

    Mushalla yang lama memang ada, namun belum punya dinding dan pintu.
    Dan rasanya belum pantas untuk disebut sebagai sebuah mushalla.
    Namun telah dimanfaatkan oleh ummat Islam di sini sebagai sarana ibadah.
    Di mushalla ini pula Saudara Ismail Batubara, mengajarkan Al Quran dan ilmu yang lain kepada anak anak muallaf dengan tanpa mengenal putus asa.

    Pada saat itu muncul suatu pendapat umum, bahwa ummat Islam tidak bisa membangun.
    Kalimat ini menjadi buah bibir di kalangan Katolik.
    Untuk itulah menyelesaikan pembangunan masjid ini merupakan prioritas utama, daripada membangun masjid atau mushalla baru.
    Hal ini karena,
    1) Terdapat seorang da’i tetap dan ia telah menyatu di hati ummat Islam di sini. Bahkan Saudara Ismail Batubara ini telah mendapat julukan Bajak Guru Saraina (Bapak guru yang sesaudara) yang merupakan panggilan untuk Saudara Ismail,
    2) Jumlah ummat Islam di sini cukup banyak (575 orang) dan amat potensial untuk dikembangkan,
    3) Islam telah lama masuk ke daerah ini (th 1957),
    4) Masih ada tokoh yang cukup disegani yaitu Bajak Toboi Kere Sabulat dan
    5) Kepala Desa seorang Islam yang taat (Saudara Hariadi).

    Untuk membawa bahan bahan bangunan dari Muara Siberut ke daerah ini memang sangat sulit. Namun ini bukan berarti tidak bisa, sebab kerja sama antara penduduk asli dengan ummat Islam Muara Siberut, kesulitan ini dapat diatasi.
    Yang diperlukan adalah pengawasan pengiriman bahan dan pengerjaan bangunan.

    Di desa ini juga terdapat sebuah sekolah dasar yang dipimpin oleh Bapak Ibrahim.
    Di samping sebagai pendidik, beliau juga memiliki dedikasi untuk mengembangkan Islam di daerah ini. Beliau telah mengabdi di sini sejak tahun 1972.

    Perkembangan anak anak dalam belajar agama Islam cukup menyentuh hati.
    Mereka sudah mulai lancar membaca Al Quran dan bacaan bacaan shalat, walaupun dengan lidah yang terpatah patah sesuai dengan lahjah Mentawai.
    Kalimat Assalamu’alaikum selalu bergema, sesuatu yang jarang ditemui di tempat lain yang kami kunjungi, kecuali Salappa.
    Kelihatan di sini telah menyatunya antara da’i dengan ummat Islam.

    Untuk masa yang datang, Matotonan dan Salappa merupakan dua desa yang dapat dikembangkan sebagai suatu desa percontohan yang Islami.
    Dan tentu saja dengan terlebih dahulu membenahi ekonomi ummat Islam.
    Sebagaimana hal di Salappa, ummat Islam di Matotonan juga berkeinginan untuk membuka perkebunan kelapa hibrida.
    Masing masing keluarga menanam dua batang kelapa, yang satu untuk kepentingan pribadi, sedangkan yang lainnya untuk kepentingan da’wah Islam.

    Waktu Perpisahan pun Tiba

    Pada malam harinya kami mengadakan silaturrahmi di mushalla yang belum selesai dengan ummat Islam di Matotonan.
    Para pemuda seperti Hariadi, Ammannacop, Kere Saguru dan Gunawan, mereka telah mampu menjadi imam, memimpin adik adik mereka.
    Dan mereka berkumpul membulatkan tekad untuk melanjutkan pembinaan Islam di daerah ini.

    Kami hanya satu malam bergaul dengan mereka.
    Bajak Toboi Kere Sabulat tidak pulang ke rumahnya, tetapi ikut tidur bersama kami, mengobrol sampai larut malam.
    Dan keesokan harinya, di pagi yang masih dingin, para muallaf mulai berdatangan untuk mengantar kepulangan kami. Sebab malamnya kami katakan, bahwa kami akan pulang pagi pagi sekali.
    Terasa sekali ikatan bathin kami, tatkala mereka mendoakan kami dengan ucapan Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, kami saling berpelukan.
    Wajah Bajak Toboi Kere Sabulat yang kelihatan telah keriput, dibasahi oleh air mata.
    Dan tanpa terasa dada ini terasa sesak, kerongkongan menyempit, seakan akan badan ini tidak ingin berpisah.
    Namun apa boleh buat, tugas di depan masih terlalu berat untuk dihadapi.

    Di tepi sungai, Saudara Ismail Batubara dan Ammannacop melambaikan tangan, mengucapkan selamat tinggal.
    Dan perahu pun melaju meninggalkan desa mereka menuju ke Muara Siberut yang sebelumnya singgah ke Ugai, Rokdog dan Munthei.

    Ugai

    Dusun ini terletak antara Madobak dan Matotonan, termasuk wilayah Madobak Ugai.
    Di sini tidak seorang pun yang beragama Islam.
    Bajak Gereja (bapak gereja) di sini berasal dari Nias, bernama Petrus.
    Sewaktu kami sampai di sana, ia baru berangkat menuju gereja.
    Hari itu kebetulan hari Minggu, sehingga kami bisa melihat sejauh mana kegiatan gereja mereka di hari Minggu.

    Gerejanya sangat sederhana, namun menurut Saudara Santosa (Kepala SD Santa Maria Ugai) dan istrinya, di sini akan dibangun sebuah gereja besar.
    Dananya telah tersedia sebanyak Rp 10.000.000, untuk menambah dana bantuan dari Depag.

    Ugai merupakan daerah yang dibina secara intensif oleh pihak Katolik.
    Di sini terdapat sebuah SD Swasta Santa Maria yang berafiliasi dengan SD Santa Maria di Muara Siberut.
    Muridnya sebanyak 39 orang dan hanya sampai di kelas IV.
    Untuk kelas V dan VI, murid muridnya dipindahkan ke SD Santa Maria di Muara Siberut.
    Untuk selanjutnya meneruskan pendidikan di SMP Negeri Muara SIberut atau ke Padang.

    Selama menempuh pendidikan di Muara Siberut, para pelajar ditampung di sebuah Asrama Putra/Putri yang dikelola oleh pastoran.
    Murid yang berprestasi lima besar di kelas, diberikan beasiswa sebesar Rp 2.500, per bulan dan segala keperluannya, seperti buku buku dan pakaian di tanggung oleh pastoran.
    Selama di asrama, masing masing mereka dikenakan biaya sebanyak Rp 2.000, per bulan.

    Demikian juga dengan kegiatan Delsos (Delegasi Sosial), dengan memberikan kredit listrik diesel. Kelihatannya Ugai akan terus dibina sebagai penyangga antara Madobak dan Matotonan.

    Rokdog

    Dusun ini terletak antara Siberut Hulu dengan Madobak dan termasuk ke daerah ulayat Madobak-Ugai.
    Kantor Kepala Desa Madobak terletak di dusun ini, karena kebetulan yang menjadi kepala desa adalah orang Rokdog.
    Di dusun ini terdapat sebuah Sekolah Dasar yang pada tahun 1990 dikepalai oleh Robertus, putra asli Mentawai berasal dari Katurai.
    Sebelum bertugas di sini, ia bertugas di Matotonan.
    Selain sebagai seorang pendidik, ia juga bertugas membina masyarakat Katolik di daerahnya. Satu kali dalam sebulan, daerah ini secara teratur dikunjungi oleh Pastor Monacci.

    Menurut keterangan Saudara Robertus, anak anak yang telah tamat SD, dikirim ke Muara Siberut untuk melanjutkan pendidikan SMP.
    Selama masa pendidikan, para siswa ditempatkan di asrama milik Pastoran.
    Penduduk desa ini pada tahun 1990 adalah berjumlah 80 KK.
    Satu per tiga di antaranya adalah beragama Islam. Ummat Islam di sini dibina oleh da’i Abdul Hakim asal Jawa Timur yang merupakan utusan dari PP Muhammadiyah Jakarta.

    Di dusun ini belum ada sarana ibadah bagi ummat Islam.
    Membangun sebuah masjid atau mushalla tentu sangat diperlukan, namun yang lebih penting lagi harus seiring dengan pembinaan masyarakatnya.
    Setelah meninjau dusun ini, selanjutnya kami berdayung ke hilir sungai dan menuju desa Munthei.

      Munthei

    Dalam perjalanan menuju Muara Siberut, sengaja kami singgah di Munthei.
    Munthei merupakan sebuah perkampungan yang dibangun oleh Departemen Sosial.
    Penduduk Munthei berjumlah 552 jiwa (tahun 1990).
    Dan jumlah ummat Islam hanya 32 orang.
    Di sini terdapat sebuah gereja Katolik yang cukup bagus.
    Setiap hari, pastoran dari Muara Siberut datang ke sini, karena Munthei merupakan salah satu pemasok sagu untuk pabrik mini pengolahan sagu di Muara Siberut.
    Hasil pengolahan sagu ini, terutama untuk konsumsi para pelajar, penghuni asrama Pastoran Siberut ).
    Masyarakat sudah mulai mengirim olahan sagu ini ke luar Siberut..

    POTENSI UMMAT ISLAM DI SIBERUT SELATAN

    Muara Siberut

    Kegiatan kegiatan seperti penyantunan muallaf, pendidikan, pembinaan aqidah dan ibadah, dilaksanakan di masjid Al Wahidin Muara Siberut.
    Masjid ini memiliki beberapa bidang kegiatan, yaitu : bidang Da’wah (majelis taklim), bidang TPSA (ta’liimul Quran), bidang Sosial (kematian, penyantunan anak yatim), dan bidang Muallaf (pembinaan ummat Islam di pedalaman Mentawai).

    Masjid yang berdinding marmer alam dan berlantaikan teraso ini memiliki madrasah yang bernama Madrasah Al Jami’atul Washliyah tingkat Ibtidayah.
    Muridnya telah mencapai jumlah 100 orang.
    Dan pada tahun 1990 hanya dibina oleh dua orang guru.
    Madrasah ini didirikan pada tahun 1973.
    Telah memiliki 5 buah ruang belajar dan kantor.
    Di belakangnya masih ada lahan kosong seluas satu setengah hektar yang masih bisa dihibahkan kepada DDII. Gedung ini hanya berjarak 200 m dari kompleks Paroki Muara Siberut.

    Sarana yang memungkinkan untuk dibangun di atas tanah yang seluas 1,5 ha itu adalah :
    1. Asrama penampungan anak anak muallaf yang ingin melanjutkan pendidikan di Muara Siberut.
    2. Taman Kanak kanak Islam
    3. Gedung panti asuhan bagi anak yatim piatu.
    4. Balai pengobatan.

    Lokasinya amat strategis, berdekatan dengan tanah lapang. Hanya berjarak 50 m dari masjid Al Wahidin, serta dekat dengan sumber air bersih. Untuk mewujudkan semua ini, perlu kerja sama semua pihak.

    Di sini terdapat 10 suku, 9 suku di antaranya adalah suku yang berasal dari Tanah Tepi, sedangkan satu suku lagi merupakan gabungan dari berbagai daerah.
    Kesatuan ummat Islam di sini sangat menentukan sekali bagi perkembangan Islam di masa datang.
    Dan ini pula yang merupakan kekuatan utama dan berperan cukup besar, dalam mengusahakan agar penduduk asli Mentawai tetap berpegang teguh pada Islam.

    Puro I dan II

    Proyek pemukiman masyarakat asli Mentawai yang berdekatan dengan Muara Siberut adalah Puro I, termasuk dalam wilayah desa Siberut dan Puro II yang masuk ke desa Munthei dengan jumlah penduduk masing masing 100 KK, (tahun 1990).
    Proyek ini dilaksanakan pada tahun 1984.
    Masing masing kompleks perumahan terdapat sebuah mushalla.
    Jumlah ummat Islam yang ada di Puro I waktu itu hanya 4 KK dan di Puro II 3 KK. Penduduk asli yang bermukim di sini adalah dari suku Tateburu, Samenek dan Sakelo.

    Pada tahun 1989, mushalla di Puro I pernah diambil oleh pihak Katolik untuk dijadikan gereja. Keadaan ini telah mengundang ketegangan antara ummat Islam Muara Siberut dengan pastor. Dan akhirnya pihak Katolik meminta maaf, setelah terlebih dahulu mengosongkan mushalla tersebut. Persoalan yang paling mendasar adalah, perlunya mendatangkan seorang tenaga da’i untuk membina ummat Islam di daerah ini. Seorang da’i yang memiliki ruhul jihad yang tinggi, tabah dalam menghadapi tantangan dan penuh pengertian.

    Di Kepulauan Mentawai, untuk meng-Islamkan penduduk asli, bukanlah hal yang cukup sulit.
    Yang paling sulit justru pembinaan selanjutnya, secara rutin dan berkesinambungan, sampai ummat Islam itu mampu mandiri.
    Di sinilah peran da’wah Islamiyah yang paling menentukan.


  • Daerah Pantai Barat

  • Desa Pasakiat Taileleu dan Sagalubbek, dua desa yang terletak di pantai barat dan selatan Kepulauan Mentawai, selama ini belum tersentuh da’wah Islamiyah.
    Hal ini karena sulitnya hubungan dan jarak yang sangat jauh.
    Pembinaan hanya dilakukan oleh para nelayan dari Tanah Tepi dan pedagang pedagang dari Muara Siberut. Seperti halnya Islam pertama kali masuk ke Kepulauan Mentawai ).

    Desa Sagalubbek berpenduduk 674 jiwa, dengan sebaran agama, 541 jiwa Katolik, 41 jiwa Protestan dan 30 jiwa masih menganut Arat Sabulungan. Dan selebihnya, 62 jiwa beragama Islam.
    Pada tahun 1989, ummat Islam di sini telah berhasil membangun sebuah masjid sederhana berukuran 10×10 m2, murni swadaya.
    Walaupun kepala desanya beragama Katolik, namun ia memberi banyak peluang bagi kegiatan ummat Islam di sini.
    Banyak anak anak yang memilih Islam sebagai agama piihannya.

    Desa lain yang terletak di pantai barat adalah Pasakiat Taileleu.
    Wilayahnya sangat luas.
    Dari dahulu, desa ini merupakan daerah rebutan antara Katolik dan Protestan.
    Jumlah penganut agama terbanyak adalah Protestan (971 jiwa), Katolik 848 jiwa dan ummat Islam hanya 13 orang, itu pun pendatang dari Tanah Tepi di antaranya guru sekolah dasar dan Babinsa.
    Di sini terdapat sebuah gereja Protestan yang terbesar di Kecamatan Siberut Selatan dan telah dibangun sejak tahun 1978.

    Menurut penuturan penduduk pendatang, Islam lebih dahulu masuk ke daerah ini, namun kalah bersaing dengan pihak lain.
    Di sini sama sekali belum ada rumah ibadah.
    Jumlah ummat Islam yang sedikit itu, menjadikan persaudaraan di antara mereka menjadi demikian erat.
    Merekalah yang menjadi tenaga penggerak da’wah Islamiyah.
    Mereka melakukan kegiatan semacam arisan dari rumah ke rumah seminggu sekali.
    Demikianlah cara mereka melakukan da’wah Islamiyah di sini.

    Perlu rasanya kita pikirkan pembinaan ummat Islam di sini untuk masa yang akan datang.
    Daerah ini di samping jumlah penduduknya yang relatif banyak, juga mempunyai potensi yang dapat dikembangkan.

    Seorang petugas Babinsa, Saudara Zamzani yang bertugas untuk desa Sagalubbek, Pasakiat Taileleu dan Katurai telah mampu menggerakkan pembangunan sebuah mushalla.
    Dan pada saat kunjungan ini, kami memberinya nama Mushalla Riyadhul Jannah di Sagalubbek.

    Pada saat kunjungan kami, daerah ini sedang disurvey untuk penanaman kelapa sawit oleh perusahaan dari Jakarta.
    Luas perkebunan ini akan mencapai hampir 2/3 luas Kecamatan Siberut Selatan.
    Pusat perkebunannya adalah di desa Pasakiat Taileleu.
    Jika perkebunan ini jadi terlaksana, maka diperkirakan akan membutuhkan tenaga kerja sebanyak 80.000 orang, hampir dua kali lipat jumlah penduduk Kepulauan Mentawai saat itu, yang hanya berjumlah 45.000 jiwa.

    Untuk mengantisipasi semua itu, perlu dipersiapkan tenaga da’i dan sarana ibadah dari sekarang ).
    Pengalaman di Pasaman agar tidak terulang lagi di daerah ini.
    Keterlambatan untuk memasuki daerah ini, bisa menyebabkan kita tidak bisa masuk untuk selama lamanya.

    TENAGA PENGGERAK DAN TEPATAN
    DA'WAH ISLAMIYAH DI SIBERUT SELATAN

    Tenaga tenaga penggerak da’wah Islamiyah, merupakan orang orang yang sangat menentukan keberhasilan penyampaian risalah di daerah daerah terpencil. Untuk daerah Siberut, tenaga tenaga itu telah mulai dibina sejak tahun 1970 melalui seleksi yang ketat.
    Tenaga tenaga da’wah itu diambil dari para pendatang atau muallaf masyarakat asli yang cukup disegani.

    Koordinator da’wah adalah Saudara Abdul Hadi A. Roni (Ka. KUA Kecamatan Siberut Selatan), yang juga merangkap sebagai pengurus Dewan Dakwah Siberut.
    1. Muara Siberut, yang meliputi dusun Muara, Pagu dan Puro I, dibina oleh: Aliuddin, Ismail, Adnan, Bustaman, Alidin, H. Lokoi Amin, Muzakir, Zainuddin, Pohak, Syaiful, Syahruddin dan M. Idris Batubara.
    2. Salappa yang mencakup dusun Puro II dibina oleh: Sunaryo dan Darmadi.
    3. Mailepet meliputi dusun Pasakiat dan Tatesuibak oleh Syahruddin.
    4. Saliguma I dan II oleh: Lenge dan Mulyadi.
    5. Saibi Samokop yang meliputi dusun Muara Saibi, Saibi Siri Surek dibina oleh: Buyung, Muzakir dan Saklagai.
    6. Katurai, yang meliputi dusun Katurai, Sarasau, Mabukuk, Malilimuk, Saumanuk dan Tolo Lagok dibina oleh: Dalat dan Sabau.
    7. Madobak yang meliputi Rokdog, Madobak dan Ugai dibina oleh: Tak Saripok dan Nilus ).
    8. Matotonan (Sararekat Hulu) oleh: Bajak Toboi Kere, Mande Kere, Amannacob dan Hariadi.
    9. Taileleu dibina oleh Lukman Hakim.
    10. Sagalubbek oleh: Husein dan Amin.

    Perimbangan Jumlah Penduduk Pemeluk Agama Di Kecamatan Siberut Selatan Tahun 1988/1989

    Berdasarkan data statistik tahun 1988/1989, perimbangan jumlah penduduk berdasarakan agama yang dianut, belum adanya sistem pendataan yang memenuhi syarat. Jumlah penduduk yang beragama Katolik sangat dominan sekali (6.397 jiwa), walaupun mereka baru memasuki daerah ini pada tahun 1954. Sedangkan jumlah penduduk yang beragama Protestan hanya 2.843 jiwa, walaupun mereka telah memasuki daerah ini 45 tahun lebih dulu (1909).

    Sementara itu jumlah ummat Islam hanya 2.940 jiwa, kebanyakan mereka berasal dari Tanah Tepi, terutama berasal dari Pariaman, Tiku dan Pesisir Selatan. Pada awalnya, maksud mereka datang ke sini hanyalah untuk berdagang. Tidak ada missi tertentu. Kesempatan mengembangkan agama Islam dilakukan melalui pendekatan pendekatan pribadi secara timbal balik. Hubungan tersebut telah terjalin sejak tahun 1600. Kala itu penduduk Tanah Tepi telah menganut Islam sebagai agamanya dengan baik. Para pedagang yang sekaligus sebagai da’i ini juga ada yang berasal dari Aceh.

    Lambat laun mereka menetap di sepanjang teluk dan pantai, bergaul dan berasimilasi dengan masyarakat setempat. Dan mereka tidak memaksakan agamanya atau memberikan iming iming seperti yang dilakukan oleh missi Kristen abad 20 ini. Para pendatang dari Tanah Tepi memberikan contoh cara hidup yang baik, berbudaya, mengasah parang dan alat alat pertanian. Demikian seterusnya, dan akhirnya mereka menyatu dengan penduduk asli Kepulauan Mentawai.

    Muara Sikabaluan

    Selasa, 6 Pebruari 1990 bertepatan dengan tanggal 10 Rajab 1410 H pukul 12.00 WIB kami berangkat meninggalkan Muara Siberut untuk selanjutnya menuju Muara Sikabaluan (Siberut Utara). Para pemuka masyarakat Islam Muara Siberut yang sejak dari malam berkumpul dengan kami di rumah Saudara A. Hadi, sekedar berbincang bincang mengenai usaha dan gerak ummat Islam, turut mengantarkan kami sampai ke dermaga boat transit.

    Pada saat saat akan berangkat, mereka masih sempat membisikkan pesan pesan kecil, tentang harapan para muallaf di pedalaman, antara lain : menyelenggarakan khitanan massal sebelum Ramadhan (1410 H), mengirimkan da’i untuk membina mereka, membantu dan menyempurnakan sarana ibadah di pedalaman, mengusahakan kapur tulis dan minyak tanah untuk belajar bagi anak anak di madrasah pada malam hari dan agar menceritakan kepada ikhwan di Tanah Tepi, persoalan yang sedang dihadapi di pedalaman, mudah mudahan ada yang ingin menyambung tangan kami.

    Terasa sekali akrabnya suasana, semua tangan disalami, serasa enggan untuk melepaskannya. Dan akhirnya kami saling berpelukan untuk berpisah sementara. Selanjutnya para penumpang dibawa ke kapal yang sedang berlabuh di tengah Teluk Siberut.

    Sebagaimana halnya di Muara Siberut, di sini juga terdapat sebuah kompleks pastoran yang berpagar rapi. Walaupun tidak selengkap dan sebagus di Muara Siberut. Di kompleks ini terdapat beberapa fasilitas, antara lain : gereja Katolik Bunda Maria, bangunan SD Fransiskus berlantai dua (lantai atas berfungsi sebagai asrama putra), rumah pastor, rumah suster, sebuah gedung pertemuan dan gedung asrama putri. Dari sinilah segala aktivitas kepastoran dilaksanakan.

    Kompleks ini terletak di perbatasan Nang Nang dengan Pakei. Dari Muara Siberut dapat ditempuh dalam beberapa menit dengan jalan kaki. Jalan jalan menuju kompleks ini terawat dengan baik. Terbuat dari semen coran, dengan lebar hampir 1½ m. Di kompleks ini juga terdapat sebuah antena SSB yang tinggi untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Menurut petugas Postel, melalui antena ini mampu berkomunikasi langsung dengan Vatikan di Eropa. Sungguh suatu yang mencengangkan. Sekitar 50 m dari kompleks ini terdapat sebuah gereja Protestan yang besar, namun kelihatan kurang terawat. Dari sini kita peroleh gambaran, bahwa Katolik lebih mendominasi. Suatu hal yang berlawanan dengan di Saibi Samokop atau Taileleu di Siberut Selatan.

    Sekitar 200 m dari kompleks paroki, terdapat sebuah bangunan sarana ibadah ummat Islam, masjid Al Falah. Masjid ini telah dibangun sejak tahun 1978, merupakan murni swadaya ummat Islam di Muara Sikabaluan. Waktu itu di sini ada seorang da’i yang bernama Saudara Zainuddin Anasti. Pembinaan ummat Islam di sini kurang terpadu, tidak seperti di Muara Siberut. Hal ini disebabkan, tidak adanya pemimpin di kalangan ummat Islam yang bisa diandalkan. Pada saat kunjungan ini, di daerah ini tidak ada da’i yang membina mereka.

    Perjalanan Pulang ke Padang

    Pukul 20.00 WIB, dengan menumpang kapal boat, kami kembali ke tengah laut untuk menuju kapal yang akan memberangkatkan kami ke Padang. Ombak di muara yang kebetulan di ujung tanjung ini terasa sangat dahsyat, lebih lebih di malam hari.

    Perjalanan kali ini terasa cukup melelahkan, dibandingkan dengan perjalan yang sudah sudah. Perjalanan dari muara ke muara, dari Muara Siberut ke Muara Sikabaluan dan ke Muara Padang. Demikian juga dengan perjalanan da’wah bil hal. Berawal dari muara hati pendukung da’wah dan selanjutnya ke muara hati ummat Islam di sini.

    Tepat pukul 21.00 WIB, sauh pun mulai diangkat. Perlahan tapi pasti, kapal yang kami tumpangi mulai bergerak. Makin lama makin cepat, membelah ombak menuju Tanah Tepi. 

    Tentang Buya Masoed Abidin
    H Mas'oed Abidin, lahir di Kotogadang, Bukittinggi, tanggal 11 Agustus 1935, Pendidikan di Surau Rahmatun Niswan Kotogadang, Thawalib Lambah

    3 Responses to Menuju Pedalaman, Islam dalam Pelukan Muhtadin Mentawai, Perjalanan Dakwah sejak 1980, seperempat abad silam

    1. Ping-balik: Menuju Pedalaman, Islam dalam Pelukan Muhtadin Mentawai, Perjalanan Dakwah sejak 1980, seperempat abad silam « Dakwah di Pelukan Muhtadin Mentawai’s Weblog « blog Buya Mas’oed Abidin

    2. Sebuah informasi yang amat berharga, dan layak menjadi bacaan dasar bagi para relawan Muslim yang bergerak membantu korban bencana di Mentawai. Ada yang tahu bagaimana kabar ustadz Batubara sekarang?

    3. saya tertarik sekali untuk mengunjungi dan menjajagi mentawai untuk melihat perkembangan islam di sana..pada siapa saya harus menanyakan kelengkapan informasi ini..semoga ada jawaban secepatnya..terima kasih..

    Tinggalkan komentar